Haluu



📖 Judul: Satu Hari di Antara Dimensi


PROLOG

Aku selalu berpikir, dunia ini terlalu realistis untuk hal-hal yang ajaib. Tapi hari itu, ketika aku membuka mata dan melihat wajah Jay dari Enhypen berdiri tepat di depan tempat tidurku, senyumnya nyata, dan tangannya mengulurkan segelas air…

Aku tahu, entah bagaimana caranya… aku sedang hidup di mimpi yang tak lagi bisa disebut mimpi.


BAB 1
 – BUKAN PAGI BIASA

Jam weker di meja berbunyi keras seperti biasanya, tapi anehnya, suasananya terasa beda. Matahari yang masuk lewat jendela kamar punya warna yang lebih hangat dari biasanya, dan… bantal ini empuk banget. Aku peluk bantal itu lebih erat, mencoba menunda kenyataan bahwa aku harus bangun sekolah. Tapi kemudian, mataku terbuka lebar. Ini... bukan kamarku.

Korden putih melambai lembut terkena angin dari jendela besar. Dindingnya putih bersih, dan langit-langitnya tinggi. Aku bangkit dengan tubuh kaku, bingung, dan hampir panik. Tapi kemudian—ada ketukan di pintu.

Klak.

Seorang wanita berpakaian serba hitam dengan ID card bertuliskan "HYBE STAFF" membuka pintu dan tersenyum. “Selamat pagi, ___-ssi. Sarapan sudah disiapkan. Jay sedang menunggu Anda di rooftop.”

Aku membeku.

Jay?

Jay siapa? Jay... JAY ENHYPEN?

Otakku memproses dengan lambat. Tangan gemetar meraih ponsel. Background-nya masih sama: Jay. Wallpaper bias-ku. Tapi yang bikin aku makin bingung, ada notifikasi masuk:
📩 "Schedule hari ini: 09.00 Breakfast bersama Jay, 10.00 – Behind the Scenes 'Dimension: Answer' Rehearsal. 13.00 – Lunch Break. 15.00 – Mini game & photoshoot session."

Aku menatap layar itu lama banget.
Ini... halu level dewata.

Tapi semuanya terlalu nyata. Tekstur selimut. Lantai dingin di bawah kakiku. Aroma wangi makanan dari luar pintu. Aku cubit pipiku keras.

“Aww!”

Ya, ini bukan mimpi. Tapi juga bukan realita yang kukenal.


BAB 2
– DIA BENERAN ADA

Aku naik ke rooftop pakai lift khusus dengan satu staf mengawalku. Dia nggak banyak bicara, cuma tersenyum sopan dan sesekali nanya, “Deg-degan ya?”

Banget. Jantungku udah nyanyi Drunk-Dazed dari tadi.

Begitu pintu lift terbuka, aku langsung disambut pemandangan Seoul pagi hari dari atas gedung tinggi. Meja putih bundar sudah tertata, dan di sana—duduklah Jay. Dengan hoodie hitam, topi hitam dibalik, dan senyum yang... ya Tuhan, lebih lembut dari semua fancam yang pernah aku tonton.

“Pagi,” katanya. “Kamu suka kopi atau teh?”

Suaranya... beneran suara Jay.

Aku belum bisa ngomong. Lidahku kelu, otakku nge-lag. Tapi dia kayak udah biasa ngadepin fans beku. Dia tertawa, senyumannya makin lebar. “Gapapa, kita sarapan pelan-pelan aja. Hari ini cuma buat kamu.”

Dunia kayak berhenti. Angin pagi menyapu pelan, tapi aku bahkan nggak ngerasa dingin. Jay menuangkan teh ke cangkirku sendiri. Tangannya stabil. Gerakannya pelan. Kayak film slow motion.

“Gimana tidurnya? Kamu keliatan kayak abis mimpi aneh,” katanya, ngeliat aku dengan pandangan main-main.

“Ya... agak aneh sih,” jawabku, akhirnya bisa bersuara. “Tapi kayaknya mimpi itu belum selesai.”

Jay tertawa kecil. “Kalau ini mimpi, aku harap kamu gak mau bangun dulu.”


BAB 3
– MEREKA SEMUA TAHU NAMAKU

Setelah sarapan, Jay ngajak aku ke ruang latihan. “Mau lihat rehearsal-nya? Kita lagi persiapan buat acara spesial, tapi hari ini kamu bisa ikut di belakang panggung.”

Kami jalan bareng. Staf menyapa dengan sopan, beberapa member lain juga muncul. Jungwon, Sunghoon, Heeseung… mereka semua senyum dan nyapa.

“Oh, ini ___-ssi ya? Jay cerita soal kamu,” kata Jake sambil ngedip iseng ke arah Jay, yang langsung pura-pura batuk.

Aku pengen lenyap karena malu, tapi juga pengen freeze waktu. Mereka semua... friendly. Hangat. Dan yang lebih aneh, mereka semua udah kayak kenal aku lama. Seolah aku bagian dari tim mereka.


BAB 4
– WAKTU YANG TIDAK BERGERAK

Waktu berjalan cepat tapi terasa lambat. Setiap detik bersama Jay terasa seperti potongan drama. Dia ngajak aku main game kartu bareng member lain, aku duduk di pinggir latihan sambil lihat mereka latihan dance keras-keras, tapi Jay selalu ngeliatin aku diam-diam dari kaca. Saat kami makan siang, dia duduk di sebelahku, bahkan mindahin lauk ke piringku.

“Biasanya aku gak serajin ini,” katanya. “Tapi hari ini spesial.”

Hatiku meleleh.

Tapi bagian paling tak terlupakan adalah saat dia ngajak aku ke ruang latihan kecil di sore hari. Cuma kami berdua.

“Aku mau tunjukin satu lagu. Belum pernah dirilis, tapi aku mau kamu yang pertama dengar.”

Dia duduk di depan komputer, pasang headphone ke telingaku, dan lagu itu mulai mengalun. Suaranya lembut, liriknya personal.

“Lagu ini aku tulis waktu capek banget. Tapi waktu lihat fans kayak kamu… aku merasa gak sendiri.”

Aku menatap dia. “Jay, kamu tahu ini semua aneh banget, kan?”

Dia mengangguk. “Aku tahu. Tapi jangan buru-buru mikirin logika. Nikmati aja dunia ini, selagi kamu di sini.”


(Bersambung...)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

MIMPI