MIMPI
MIMPII
Namaku Rani. Aku lahir di sebuah desa kecil di pinggiran Jawa Tengah. Ayahku
seorang buruh tani, dan ibuku menjahit di rumah tetangga untuk menambah
penghasilan. Sejak kecil, aku diajarkan untuk tidak banyak bermimpi, karena
“mimpi itu milik orang-orang yang punya uang.”
Tapi aku tetap bermimpi.
Setiap kali melihat guru datang ke sekolah dengan percaya
diri dan senyum yang menenangkan, aku berkata dalam hati: aku ingin
seperti mereka. Aku ingin jadi guru. Bukan hanya supaya bisa berdiri di
depan kelas, tapi karena aku tahu, pendidikan adalah pintu keluar dari
kemiskinan kami.
Namun hidup tidak pernah mudah bagi pemimpi sepertiku.
Setelah lulus SMP, orang tuaku tak sanggup membiayai sekolah. Aku hampir
menyerah. Tapi suatu hari, kepala sekolah memanggilku dan berkata, “Kamu dapat
beasiswa, Ran. Jangan sia-siakan.”
Sejak saat itu, aku berjalan kaki lima kilometer setiap hari
ke sekolah. Pulang sore, bantu ibu menjahit sampai malam. Kadang mengantuk di
kelas, kadang dimarahi karena nilai turun. Tapi aku tak berhenti. Karena aku
tahu, kalau aku menyerah, mimpi itu akan benar-benar mati.
Lulus SMA, aku lolos ke universitas negeri di kota. Aku
kuliah sambil kerja—jadi guru les, jaga warung kopi, bahkan pernah jadi petugas
kebersihan di kampus sendiri. Malu? Pernah. Lelah? Selalu. Tapi puas? Sangat.
Hari ini, aku berdiri di depan kelas. Bukan lagi sebagai
murid, tapi sebagai guru. Setiap kali aku mengajar, aku lihat anak-anak duduk
dengan mata berbinar, dan aku selalu berkata dalam hati: mimpi itu
tidak pernah salah. Kadang, kita hanya perlu waktu dan keberanian untuk
mengejarnya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete